Rabu, 14 Maret 2012

Teknik Molekuler dalam Penentuan Variasi Genetik


Teknik Molekuler dalam Penentuan Variasi Genetik

Teknik-teknik yang digunakan dalam genetika modern banyak menggunakan penanda genetik sebagai alat bantu mengidentifikasi genotipe suatu individu atau sampel yang diambil. Penanda genetik disebut juga dengan penanda, marker, marka, atau markah. Penanda genetik merupakan ekspresi pada individu yang terlihat oleh mata atau terdeteksi dengan alat tertentu, yang menunjukkan dengan pasti genotipe suatu individu. Penanda genetik dapat diketahui lokasinya pada kromosom. Penanda yang lokasinya dapat diketahui pada kromosom memberikan informasi bagi sekuensing dan perbandingan antar genotipe, meskipun seringkali tidak praktis dalam aplikasinya. Aplikasi penanda genetik misalnya dalam bidang-bidang kedokteran, pertanian, ilmu pangan, lingkungan, antropologi, sejarah, hukum. Bidang-bidang tersebut menggunakan aplikasi penanda genetik  sebagai alat analisis atau alat pembuktian. Beberapa penanda genetik sangat terpercaya karena bersifat lembam dan tidak mudah berubah karena pengaruh lingkungan (Semagn et al., 2006)
1.   Prinsip pemanfaatan penanda genetik
Penanda genetik hanya berguna apabila ia polimorfik dan terpaut dengan sifat yang akan diamati atau dengan penanda genetik lain. Syarat polimorfik diperlukan karena penanda genetik harus bisa membedakan individu-individu dalam populasi yang diteliti. Suatu penanda genetik harus bisa mengelompokkan individu paling tidak dalam dua kelompok. Syarat terpaut dengan penanda, gen, atau sifat lain diperlukan karena fungsi penanda genetik adalah sebagai tanda pengenal yang harus melekat pada sifat yang diteliti. Penanda genetik juga mengikuti Hukum Pewarisan Mendel dalam suatu analisis genetik. Terdapat dua macam penanda genetik dalam kaitannya dengan Hukum Pewarisan Mendel, yaitu:
1.      Penanda yang bersifat kodominan, artinya dapat membedakan ketiga kelas genotipe pada generasi F2 (dua homozigot dan heterozigot)
2.      Penanda yang bersifat dominan, artinya tidak bisa memisahkan heterozigot dari salah satu kelas homozigot
2.   Macam-macam penanda Molekuler
a.       Hybridization-based marker-RFLP
RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) berasal dari susunan DNA yang terjadi karena proses evolusi, mutasi titik pada situs enzim restriksi, insersi atau delesi dalam fragmen DNA. Dalam analisis RFLP, genomik DNA yang dipotong dengan enzim restriksi dipisahkan melalui gel elektroforesis, dan diblot ke membrane netroselulase. Dasar dari transfer DNA dari gel ke pensupport yang lebih solid adalah untuk mengawetkan posisi fragmen DNA dan menyebabkan hibridisasi dapat dilakukan. Pola banding yang spesifik divisualisasi dengan hibridisasi dengan probe yang dilabel. Probe biasanya probe lokus tunggal yang spesies-specific berukuran 0.5-3kb yang diperoleh dari cDNA library atau genomik library (Brown, 2002).
RFLP merupakan marker co-dominant. RFLP merupakan marker yang sangat dapat dpercaya dalam analisis linkage dan breeding dan dapat ditentukan dengan mudah jika karakter terdapat dalam bentuk homozigot atau heterozigot. Kekuatan dari marker RFLP adalah konsistensi yang tinggi, sifat pewarisan co-dominant, dapat diulang antar laboratorium, memberikan marker yang locus-specific, tidak memerlukan informasi sekuen, dan relative mudah discor karena perbedaan yang besar antar fragmen. Tetapi penggunaan RFLP memerlukan DNA dalam jumlah yang besar untuk pemotongan dengan enzim restriksi. Di samping itu penggunaan isotop radioaktif relatif mahal dan berbahaya. Waktu yang diperlukan juga cukup lama.
b.      RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)
Salah satu teknik molecular marker yang menggunakan PCR adalah RAPD. Metode standar RAPD menggunakan oligonukleotida tunggal pendek (10-12 basa) dengan urutan acak sebagai primer untuk mengamplifikasi genomik DNA dalam jumlah nanogram dengan temperatur annealing yang rendah. Produk amplifikasi PCR dipisahkan dengan agarose gel diwarnai dengan ethidium bromide. Primer decamer secara komersial tersedia di berbagai sumber (misalnya Operon Technologies Inc., Alameda, California atau University of British Columbia, Canada). Analisis RAPD berbeda dengan kondisi PCR standar dimana hanya menggunakan satu primer dan tidak memerlukan informasi sekuen DNA awal (Bardakci, 2001)
Pada temperature annealing yang tepat selama siklus thermal, oligonukleotida primers dengan urutan sekuen acak berikatan pada beberapa priming site pada sekuen komplementer pada template DNA genomik dan menghasilkan produk jika priming site berada dalam wilayah/jarak yang dapat diamplifikasi. Profil amplifikasi DNA tergantung pada homologi sekuen nukleotida antara template/cetakan DNA dengan oligonucleotide primer. Variasi nukleotida antar template DNA menghasilkan ada tidaknya band karena perubahan priming site.
Aplikasi analisis RAPD
Karena teknik RAPD yang sederhana dan biaya yang diperlukan lebih murah maka terdapat aplikasi yang sangat luas dari RAPD pada berbagai area biologi. Beberapa area tersebut antara lain:
1.      Kemampuan RAPD mendeteksi variasi intra-specifik dapat digunakan untuk melakukan screening untuk tingkat inbreeding pada tanaman komersial untuk mencegah peningkatan frekuensi alel resesif yang merugikan dalam populasi.
2.      Marker species-specific digunakan dalam inter-specific gene flow dan identifikasi hybrid. Sama halnya dengan marker population-specific akan bermanfaat dalam identifikasi populasi hibrid. Marker RAPD lebih cocok untuk organisme klonal dibandingkan organisme yang bereproduksi secara seksual. Karena bereproduksi secara aseksual, maka fragmen polimorfik antar individual dapat digunakan untuk menentukan identitas klonal.
Walaupun metode RAPD relatif cepat, murah dan gampang dilaksanakan dibandingkan metode marker DNA lain, isu konsistensi/reproducibility menjadi perhatian sejak dipublikasikannya teknik ini. RAPD sangat sensitif terhadap perubahan kondisi reaksi PCR. Problem reproducibility/konsistensi biasanya terjadi pada band dengan intensitas yang rendah. Hal ini mungkin terjadi karena primer tidak cocok secara sempurna pada sekuen priming site, amplifikasi pada beberapa siklus mungkin tidak terjadi sehingga band tetap samar (Bardakci, 2001)
c.       ISSR (Inter Simple Sequence Repeat)
ISSR melibatkan amplifikasi segmen DNA yang berada pada jarak yang dapat teramplifikasi antara dua daerah mikrosatelit berulang yang identik tetapi dengan orientasi arah yang berbeda. Teknik ini menggunakan primer mikrosatelit tunggal dalam reaksi PCR dengan target multiple-locus genomik untuk mengamplifikasi inter simple sequence repeats dengan ukuran yang berbeda. Mikrosatelit yang digunakan sebagai primer bisa berupa di-nucleotide, tri-nucleotide, tetranucleotide atau penta-nucleotide. Panjang primer ISSR yang digunakan adalah 15-30 mers dibandingkan dengan RAPD yang menggunakan primer 10 mers. Suhu annealing tergantung pada kandungan GC dari primer yang digunakan, biasanya berkisar 45 sampai 65C. Produk hasil amplifikasi biasanya berukuran 200-2000 bp dan dapat dideteksi dengan menggunakan gel agarosa atau poliakrilamid elektroforesis.
Mikrosatelit biasanya dibedakan dengan minisatelit pada derajat pengulangan sekuennya. Pada minisatelit ulangannya lebih sederhana dibandingkan dengan metode analisa mikrosatelit. Demikian pula panjang unit ulangan biasanya lebih panjang, sedangkan derajat ulangan minisatelit ditentukan pula berdasarkan ” sekuen intinya” sebagaimana pada mikrosatelit (Tautz, 1993).
Bentuk pengulangan sekuen DNA sederhana yang berulang-ulang menjadikan marka mikrosatelit sering disebut simple sequence repeat (SSR), short tandem repeats (STRs) atau simple sequence length polymorphisms (SSLPs) yang sekarang menjadi salah satu marka paling banyak digunakan secara luas untuk pemetaan genetik, analisis keragaman genetik, dan studi evolusi (Temykh et al., 2000). Marka ini muncul sebagai marka yang sangat variatif dan mudah diulang, menjadikan sangat ideal untuk pemetaan genom. Mikrosatelit ini merupakan salah satu tipe polimorfisme yang berulang-ulang, yang biasa dikelompokkan ke dalam simple tandem repeat polymorphism (STRP), karena perbedaan genetik di antara molekul-molekul DNA yang mengandung sejumlah kopi sekuen DNA pendek yang diulang beberapa kali. STRP yang memiliki pengulangan 2-9 pasang basa sering disebut mikrosatelit, sedangkan STRP dengan pengulangan 10-60 pasang basa sering disebut minisatelit atau variable number of tandem repeats (VNTR) (Hartl, 1988).
Mikrosatelit atau SSR dapat dideteksi dengan pewarnaan menggunakan teknik  Silver Staining PAGE (pewarnaan perak dengan teknik  Polyacrilamyde Gel Electrophoresis). Proses deteksi  SSR juga dapat diotomatisasi dengan menggunakan  fluorescently-labeled markers dan alat analisis genetik  (genetic analyzer). Kelebihan utama dari teknik ini adalah pembacaan fragmen  DNA lebih akurat  (ketelitian sampai 1 bp), lebih otomatis, dan  hightroughput (marka yang berbeda ukuran fragmen DNA dan warna labelnya dapat diproses bersamaan  dalam sekali pendeteksian (running) (Santoso, dkk; 2006).
Mikrosatelit, atau pengulangan urutan sederhana (simple sequence repeat) adalah sekuen sederhana yang berulang-ulang yang melimpah dalam genom suatu spesies. Mikrosatelit memiliki pengulangan sekuen yang berurutan dua sampai 4 motif sekuen nukleotida sebagai sekuen konservatif. Penciri  ini sangat berguna sebagai penciri genetik karena bersifat kodominan, sehingga dapat mendeteksi keragaman alel pada level yang tinggi, mudah dan ekonomis dalam pengaplikasiannya karena menggunakan proses PCR (Shen P et al., 2000). Penciri ini muncul sebagai marka yang sangat variatif dan mudah diulang, menjadikan sangat ideal untuk pemetaan genom.
Perbedaan panjang alel mikrosatelit pada lokus biasanya dikarenakan variasi pada jumlah ulangannya dan ketidaksepadanan pasangan nukleotida saat kejadian replikasi dipertimbangkan sebagai mekanisme utama yang menyebabkan panjangnya variasi alel  tersebut, bahkan munculnya alel-alel baru (Travis et al., 1996). Variasi  pada  lokus-lokus mikrosatelit dapat diuji dengan amplifikasi PCR menggunakan primer-primer  yang komplemen dengan sekuen  unit pengapit rangkaian nukleotida berulang, serta diikuti dengan elektroforesis produk PCR (Tauzt,  1993). Di bawah ini adalah hasil elektroforesis produk PCR DNA kerbau Blitar dengan menggunakan primer INRA 023.

                                          Hasil produk PCR dari DNA Kerbau Blitar 
                                                            (Riyanto, 2010)

Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa adanya variasi jumlah alel pada tiap individu pada populasi kerbau. Alel mikrosatelit pada kerbau yang di identifikasi dapat digunakan sebagai penanda genetik, sehingga dapat menunjukkan variasi genetik. Misalnya pada sampel kerbau no 7 mempunyai variasi alel A, B, C sedangkan Sampel no 2 hanya mempunya variasi alel A, C artinya sampel no 7 lebih polimorf apabila dibandingkan sampel no 2. Semakin tinggi varisai alel maka variasi genetik juga semakin tinggi (Riyanto, 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar